Zakat tidak
diragukan adalah sarana untuk mempersatukan umat. Dalam pengelolaan zakat,
muzaki orang Islam atau badan usaha milik muslim yang membayar zakat adalah
muzaki, sedang orang yang berhak menerima zakat disebut mustahik, tanpa
dibedakan dari golongan mana atau partai apa. Begitu pula, visi dan misi zakat
itu adalah sama di manapun, walaupun dikelola oleh lembaga yang berbeda.
Bersatunya
lembaga zakat (BAZNAS dan LAZ) akan menghasilkan dampak teraktualisasinya
potensi zakat secara nasional. Sebagaimana dimaklumi potensi zakat di negara
kita sangat besar, yaitu Rp 217 triliun (berdasarkan hasil penelitian FEM-IPB
dan BAZNAS 2011). Akan tetapi aktualisasi dari potensi tersebut masih sangat
kecil, walaupun terjadi peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2010 zakat yang
masuk melalui BAZNAS (pusat dan daerah) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebesar Rp
1,5 triliun. Pada tahun 2011 sebesar Rp 1,73 triliun atau mengalami kenaikan
sebesar 15,33%, dan tahun 2012 kurang lebih Rp 2,17 triliun.
Berdasarkan
data BAZNAS, jumlah mustahik atau penerima zakat saat ini mencapai 1,8 juta
orang. Sementara itu dari tiap 100 mustahik di Indonesia, sebanyak 17
mustahik berhasil terangkat dari kemiskinannya.
Dalam kaitan
dengan tata kelola zakat yang profesional dan akuntabel, salah satu prinsipnya
adalah amil zakat itu bukanlah pemilik harta zakat. Dengan demikian, amil
tidak dapat menggunakan dana zakat semau-maunya. Amil zakat hanyalah perantara
dan penghubung antara muzakki dengan mustahik. Dalam Undang-Undang Pengelolaan
Zakat (UU No 23 Tahun 2013) dicantumkan asas pengelolaan zakat, dimana asas
yang pertama adalah syariat Islam. Amil yang tidak menyalurkan dana zakat yang
dihimpun sesuai ketentuan syariah atau menahannya dari tahun ke tahun sehingga
tidak menyalurkan sebagaimana mestinya akan terkena sanksi hukum.
Hasil
penghimpunan zakat yang terus meningkat dan potensi zakat yang harus digali di
Tanah Air, termasuk potensi infaq dan shadaqah, memerlukan tata kelola yang
amanah, profesional, akuntabel serta terintegrasi dalam sistem pengelolaan
zakat nasional. Amil sebagai pemegang amanah harta umat harus menyadari
pula bahwa kita tidak bisa bekerja sendiri untuk mengatasi persoalan kemiskinan
di tengah umat, betapapun besarnya lembaga dan dana yang dikelola.
Seperti
diutarakan di muka, pada dasarnya segala upaya dan langkah untuk menggali
potensi zakat dan mengoptimalkan peran zakat bagi kesejahteraan kaum dhuafa
memerlukan kerjasama dan sinergi yang kuat antara satu lembaga dengan lembaga
yang lain, antara satu amil dengan amil yang lain, dan antara satu sektor dengan
sektor yang lain. Singkat kata, zakat harus menjadi gerakan bersama, dari umat
dan kembali kepada umat. Sementara itu pengelolaan zakat itu sendiri wajib
mendapat dukungan dari Pemerintah sesuai perundang-undangan.
Mempersatukan
umat melalui zakat adalah sejalan dengan perintah Allah SWT dalam Al Quran,
“Dan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, mereka tolong menolong
(bergotong royong), menyuruh yang makruf dan melarang melakukan yang mungkar.
Dan mereka mendirikan shalat, membayar zakat, mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Allah akan memberi mereka rahmat. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS At-Taubah [9]: 71).
Indonesia
sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia memiliki potensi bangkit dan
bersatu dengan ditopang kekuatan dana zakat yang terkumpul dan disalurkan
kepada yang berhak menerimanya. Tapi perlu digaris-bawahi bahwa zakat bukan
satu-satunya instrumen yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah
kemiskinan di Indonesia. Perolehan dana zakat masih terbatas dan program
pengentasan kemiskinan secara keseluruhan tetap menjadi tanggung jawab negara
melalui kebijakan pemerintah. Zakat, infaq, sedekah dan wakaf adalah
instrumen pendukung yang memiliki peran strategis jika dikelola dan
diberdayakan secara amanah, profesional dan terintegrasi.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Sumber : baznas.or.id, Ditulis oleh: Oleh: Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc (Ketua Umum BAZNAS).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar