Ketua Umum BAZNAS
Etika atau akhlak merupakan sebuah
keniscayaan dalam kehidupan manusia. Sekalipun seseorang pintar dan
berpendidikan tinggi, tetapi tidak memiliki etika dan akhlak yang baik, tidak
membawa manfaat bagi masyarakat luas dan malahan bisa membawa petaka di
masyarakat.
Banyak orang yang pintar dan
profesional, tapi miskin etika dan akhlak, akhirnya berujung dengan kehancuran.
Oleh karena itu setiap profesi yang penting di masyarakat mensyaratkan standar
etika dan hal itu biasanya dirumuskan dalam bentuk kode etik profesi. Kita
mengenal adanya kode etik wartawan, kode etik dokter, kode etik hakim, dan
sebagainya.
Untuk menegakkan etika dan menjamin
kepatuhan terhadap kode etik yang telah ditetapkan, di lingkungan suatu lembaga
lazim dibentuk komisi etik, dewan kehormatan atau nama lain yang sejenis.
Dalam kaitan di atas salah satu tujuan
utama dari zakat, Infak, dan Sedekah adalah membangun
etika dalam bekerja, membangun akhlaqul karimah dalam mencari rezki.
Karena berzakat, berInfak, dan berSedekah, serta
hasil pekerjaan yang tidak halal; baik substansinya, maupun cara
mendapatkannya, maka zakat, Infak, dan Sedekah, tidak akan
pernah diterima oleh Allah SWT. Rasulullah SAW mengatakan dalam Hadits, ”Sesungguhnya
Allah tidak akan pernah menerima Sedekah (yang dikeluarkan) dari harta
yang didapatkan dengan cara menipu.” (HR Thabrani)
Oleh karena itu upaya mendorong
masyarakat untuk berzakat atau melakukan gerakan sadar zakat pada
hakikatnya adalah gerakan moral keagamaan dalam membangun etika dan akhlaq
masyarakat, bangsa dan negara.
Gerakan zakat sesungguhnya bukan
sekedar gerakan untuk mengumpulkan dana dari masyarakat untuk dikembalikan dan
diberikan kepada mereka yang membutuhkan, dan bukan hanya sekedar mengumpulkan
dana dari muzakki untuk kemudian diberikan kepada mustahiq. Karena itulah, amil
zakat selaku pengelola zakat wajib memiliki standar etika profesi
amil.
Sedikitnya terdapat empat nilai dasar
etika profesi amil, jika mengacu pada sifat kepemimpinan Rasulullah, yakni
Shiddiq, Amanah, Fathonah dan Tabligh. Shiddiq adalah bekerja secara lurus dan
benar, amanah bekerja secara jujur, fathonah bekerja secara profesional, dan
tabligh adalah bekerja untuk mencapai target dan sasaran yang dituju, tidak
menyembunyikan sesuatu, tapi menyampaikan suatu hak yang patut disampaikan
kepada yang berhak menerimanya.
Di samping itu, seorang amil dituntut
harus memiliki jiwa sosial, empati dan peduli terhadap penderitaan orang lain,
yakni masalah dan kesulitan para mustahik. Kemuliaan profesi amil dapat
digambarkan sebagai sahabat spiritual muzaki dan mustahiq, sehingga amil
haruslah orang-orang yang berhati bersih, berpikiran lapang dan memiliki jiwa
menolong terhadap orang lain. Sifat kepribadian semacam itu harus dimiliki
sebagai landasan etika profesi seorang amil.
Seseorang yang bergabung dengan lembaga
zakat sebagai amil tidak terelakkan berasal dari berbagai disiplin ilmu
atau memiliki latar belakang pengalaman kerja yang beragam. Tetapi begitu
seseorang menyandang status profesi amil dan berada dalam lingkungan kerja
lembaga zakat, maka dia wajib memahami dan melaksanakan etika kerja amil
yang berbeda dengan sifat dan hakikatnya dengan profesi lainnya.
Hanya pengelolaan zakat yang
ditopang dengan amilin yang memegang teguh kode etik amil insya allah akan
mengantarkan umat pada tujuan besar pengelolaan zakat. Untuk menuju ke
arah itu, etika amil zakat perlu dirumuskan secara lengkap dan
ditetapkan secara uniform yang berlaku pada semua lembaga zakat
sebagai pedoman kerja. Urgensi etika amil juga sangat penting dalam rangka
menumbuhkan dan memelihara kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat.
Sumber : Baznas.or.id
Tidak ada komentar :
Posting Komentar