Dalam peradaban
Islam dikenal dua lembaga yang menjadi pilar kesejahteraan masyarakat dan
kemakmuran negara yaitu lembaga zakat dan lembaga pajak karena sifatnya adalah
wajib. Pada prinsipnya zakat dan pajak adalah dua kewajiban yang mempunyai
dasar berpijak berlainan. Zakat mengacu pada ketentuan syariat atau hukum Allah
SWT baik dalam pemungutan dan penggunaannya, sedang pajak berpijak pada
peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh Ulil Amri/pemerintah menyangkut
pemungutan maupun penggunaannya.
Seperti halnya
zakat yang merupakan rukun Islam, umat Islam sejak abad pertama hijriah telah
mengenal pajak dengan sebutan kharaj (pajak hasil bumi/tanaman), sedang
pajak dalam pengertian umum disebut dharibah (Inggris: tax).
Dalam tradisi Islam pajak terdiri atas
Kharaj (pajak
bumi/tanaman), Usyur (pajak perdagangan/bea cukai), dan Jizyah
(pajak jiwa terhadap non-muslim yang hidup di dalam naungan
negara/pemerintahan Islam). Dengan demikian, jika ada pendapat yang menyatakan
bahwa pajak tidak ada dalam Islam, pendapat semacam itu memiliki landasan yang
lemah.
Hubungan zakat
dan pajak di dalam Islam pernah dibahas dalam Seminar Majelis Ulama Indonesia
(MUI) tahun 1990 oleh almarhum Prof. KH Ibrahim Hosen, LML (Ketua MUI/Ketua
Komisi Fatwa MUI).
Menurut Ibrahim
Hosen yang menamatkan pendidikan pada Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar
Cairo – Mesir itu:
“Islam begitu
hadir, di tengah-tengah masyarakat telah hidup bermacam-macam aturan, budaya,
adat istiadat dan lain sebagainya. Dalam menghadapi masalah ini ada tiga macam
sikap Islam; (a) Hal-hal yang bertentangan dengan Islam ditolak secara tegas.
(b) Hal-hal yang bertentangan akan tetapi sudah membudaya dan mengakar di
masyarakat ditolak dengan cara bijaksana, yaitu dibenarkan untuk sementara,
tetapi dicarikan jalan penyelesaian dan pemecahan untuk menuju kepada
penghapusan sama sekali. (c) Yang tidak berlawanan dengan Islam diteruskan,
dilestarikan dan disempurnakan. Contohnya seperti Pajak.”
Ibrahim Hosen
menjelaskan, “Pajak adalah aturan atau sistem yang dapat dibenarkan oleh
Islam. Jauh sebelum Islam datang, sistem perpajakan telah lama dikenal oleh
sejarah umat manusia. Setelah Islam datang, sistem pajak yang ternyata banyak
manfaat dan maslahatnya ini eksistensinya diakui, dibenarkan dan disempurnakan.
Tidak dapat dijadikan dalil bahwa apabila zakat telah dibayar maka kewajiban
pajak gugur, atau sebaliknya bila pajak telah dibayar maka zakat menjadi gugur.
Warga negara Indonesia yang beragama Islam berkewajiban mengeluarkan zakat
sebagai realisasi pelaksanaan perintah agama dan berkewajiban pula membayar
pajak sebagai realisasi ketaatan kepada Ulil Amri/pemerintah yang juga
diwajibkan oleh agama. Islam memberi wewenang kepada Ulil Amri/pemerintah untuk
mengelola zakat dan pajak.” (Mimbar Ulama, edisi
no 150, Zulhijjah 1409 H – Juli 1990)
Setahu saya pada
semua negara muslim dewasa ini hubungan antara zakat dan pajak sudah tidak
menjadi problem, baik dalam ranah hukum maupun penerapannya di masyarakat.
Dewan Penelitian Keislaman (Islamic Research Assembly) Universitas
Al-Azhar Cairo – Mesir mengeluarkan fatwa bahwa pajak untuk kepentingan negara
tidak dapat menggantikan pembayaran zakat yang wajib hukumnya dalam Islam.
Negara lainnya
yaitu Kuwait. Pemerintah Kuwait tidak mengenakan pajak kepada warga negaranya
karena anggaran pendapat dan belanja negara dengan hasil penjualan minyak sudah
sangat surplus. Dalam pelaksanaan zakat, banyak warga Kuwait yang membayar
zakat secara individual kepada orang yang mereka kehendaki sesuai ketentuan
agama. Namun para ulama setempat tetap membedakan antara kewajiban zakat dan
pajak. Pemerintah Saudi Arabia juga tidak mencampur-adukkan zakat dan pajak
dalam kebijakan fiskalnya, meski kedua sektor ini ditangani melalui satu
institusi di bawah Kementerian Keuangan.
Dalam kaitan di
atas menarik disimak Dr. Syauqi Ismail Sahata dalam buku Penerapan Zakat
dalam Dunia Modern membahas boleh tidaknya memungut pajak di samping zakat.
Ia menunjuk pendapat Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah yang menyanggah pendapat
sebagian ulama bahwa pajak-pajak yang berlaku di negara-negara Islam adalah
berfungsi sebagai zakat. Pendapat seperti itu menurutnya tidak sesuai dengan
tujuan hakiki disyariatkannya zakat dalam Islam . Kewajiban zakat adalah untuk
menanggulangi kemiskinan, membantu orang-orang fakir dan memenuhi kebutuhan
kaum melarat, dan juga untuk membiayai kelancaran dakwah Islam, dimana hal itu
tidak termasuk bidang-bidang yang dibiayai dengan pajak. Sekalipun ada sedikit
pembelanjaan pajak untuk kaum dhuafa, tetapi sifatnya sekunder dan bukan tujuan
utama. Pemungutan pajak di samping zakat adalah boleh, sesuai dengan prinsip al-mashalihul
mursalah.
Jika belakangan
ini muncul gagasan untuk memperjuangkan zakat sebagai pengurang pajak (tax
credit), tentu hal itu memerlukan pemikiran dan koordinasi yang baik dan
tepat dalam merealisasikannya. Kalau pun sekarang belum terwujud, siapa tahu
suatu saat nanti menjadi kenyataan. Gagasan yang sulit untuk diterima adalah
menyamakan zakat dengan pajak.
Wallahu a’lam
bishawab.
Sumber : http://www.baznas.or.id/ {Ditulis oleh: M. Fuad Nasar (Wakil
Sekretaris BAZNAS dan Kasubdit Pengawasan Lembaga Zakat)}
Tidak ada komentar :
Posting Komentar